Omong Kosong yang Harus Ada

dan menikmati hidup ini sebagaimana adanya

babonjra
4 min readNov 12, 2023
Photo by Steffen Trommer on Unsplash

Trigger Warning: tulisan ini membicarakan tentang bunuh diri.

Di mana ada harapan, niscaya di depan terdapat kesulitan. Saat aku pertama mengetahui kata harapan, aku mengira bahwa ia adalah sesuatu yang dipegang erat untuk menjalani kesulitan. Harapan adalah landasan seseorang untuk meyakini dengan keras kepala bahwa ada sesuatu yang menanti di ujung rintangan ini, ada suatu hal yang lebih baik — bahkan diagungkan sebagai utopia.

Utopia, yang kebanyakan orang amini, berasal dari kata dalam bahasa latin eu dan topos, eu berarti baik sedang topos berarti tempat, bila digabungkan menjadi tempat yang bagus. Yang tidak banyak orang ketahui, utopia secara literal berasal dari ou dan topos, ou berarti tidak sedang topos berarti tempat, bila disatukan berarti tempat yang tidak ada; non-eksisten.

Bagi banyak orang, harapan selalu terlihat sebagai suatu tempat di mana semua akan berakhir baik-baik saja. Untuk sebagian lainnya, harapan tak lebih dari tarikan nafas setelah ini. Sewaktu merantau kuliah di Malang, aku selalu senang membolakbalikkan kata sesuai budaya kota yang kucintai ini. Aku menyukai Malang karena marah katanya haram, aku mencintai Malang karena ia mengajariku untuk berhenti menaruh harap — harap, menurut Malang, berarti parah.

Harapan adalah konsep yang begitu abstrak dan, kalau pun ada, jumlahnya terbatas sekali. Sedangkan ujian dan cobaan kehidupan yang melawan kita dalam banyak cerita cenderung lebih konkrit dan berjumlah tak hingga. Bagi para optimis yang bersikeras mengharuskan adanya harapan di ujung jalan ini — bahwa semua akan berakhir baik-baik saja, tidak janggal kalau mereka tersiksa oleh kehidupan yang terus menerus membawa mereka di satu kesimpulan: mengecewakan. Kehidupan yang mereka nantikan akan lebih baik sesuai pengandaian, ternyata tidak jauh dari kata medioker.

Belum genap sebulan sejak hari kesehatan mental sedunia muncul kabar duka cita seorang mahasiswi bunuh diri beberapa hari lalu. Carolline Angelica namanya. Aku tidak tahu ini sudah kasus bunuh diri keberapa tahun ini, yang kuketahui ini bukan yang pertama atau kedua. Aku minta sebentar saja agar kita mengesampingkan angka: ia layak dikenang sebagai manusia. Kematian siapapun harus dikabungkan, setidaknya untuk sejenak saja.

Benjamin Franklin, salah satu bapak pendiri Amerika Serikat, pernah berkata Banyak orang meninggal pada usia dua puluh lima tetapi baru dikuburkan setelah usia tujuh puluh lima. Sialnya, waktu Carolline menginjakkan kaki di dunia tidak akan pernah mencapai umur dua puluh lima.

Carolline melihat dunia sebagai sesuatu yang begitu kelam di mana harapan tak lagi bisa tumbuh di sana. Kekelaman tidak melulu tentang kekerasan berdarah-darah maupun pertarungan senjata. Kelam adalah ketidakhadiran cahaya. Kelam adalah absennya harapan. Melihat dunia yang hampa dan menyesakkan dada, Carolline berputus asa dan mengakhiri hidupnya.

Keinginan bunuh diri bisa lahir dari pengandaian ada rute perlarian dari masalah yang dihadapi sekarang ini. Tapi tidak menutup kemungkinan hal itu muncul sejak tidak menemukan alasan untuk melanjutkan hidup lagi.

Sedangkan rasa putus asa bisa datang dari rasa sakit dan derita. Kehilangan anggota keluarga, dirundung saat remaja, gagal mendapat nilai A, perselingkuhan, tidak kunjung mendapat pekerjaan, bahkan perasaan bahwa hidupmu membosankan; apa saja, kurasa cukup untuk membuat seseorang berputus asa dan menukarnya dengan kehidupan itu sendiri.

Seringkali kita yakin dapat menghadapi rasa sakit dan penderitaan saat situasi sulit, namun ada kalanya kita berada di titik di mana kita merasa tak mampu melangkah lagi. Ketika itu terjadi, ada dua opsi: menemukan alasan untuk meneruskan hidup ini atau diam dan tidak melakukannya sama sekali.

Carolline sama seperti kebanyakan orang optimis lainnya, yang menghendaki dunia di mana segalanya baik, dunia yang tidak ada cacat, yang naif, yang tak ada. Mereka tercekik ketika menyadari dunia yang kita diami jauh dari kata sempurna. Utopia ternyata tanah suci yang kian menjauh tiap kita melangkahkan kaki ke sana.

Yang masuk di akal Carolline tentang keberanian boleh jadi berbeda dengan kebanyakan orang. Aku tidak tahu keberanian sebesar apa yang diperlukan untuk mengunci diri di mobil sebelum akhirnya membungkus kepala dengan plastik terisi helium dan dipastikan rekat dengan menempelkan lakban. Keberanian melakukan cara yang paling jitu dan masuk akal untuk kabur dari tempat yang jauh dari kata ideal.

Baiklah, memang dunia ini bukanlah dunia terbaik dari seluruh kemungkinan yang ada. Tetapi bukan berarti dunia yang terlanjur kacau ini tidak bisa kita nikmati. Menikmati hidup ini tidak akan bisa kalau menginginkannya dalam keadaan suka dan selalu suka, tetapi ada kalanya kita nikmati dalam suka dan duka. Pada baik dan buruk, pada riang nelangsa. Yang sering dilupakan: kita bisa menikmati dunia ini sebagaimana adanya.

Kalau saja tidak berputus asa, Carolline bisa menyadari dunia yang berantakan ini tidak diharuskan sepenuhnya hancur lebur. Bahwa selalu ada harapan, meskipun ia begitu mungil dan rapuh. Bahwa satu-satunya momen harapan mati adalah ketika kita membunuh apa-apa yang melahirkan cinta.

Harapan barangkali bukan lagi berarti "setelah ini, semua akan baik-baik saja". Ia, harapan, tak lebih dari sekadar "setelah ini, akan berbeda dari sebelumnya". Akan seperti apa, sih, setelah ini? Tentu aku tidak tahu. Tapi sekadar kemungkinan lain bahwa ada perubahan, sudah cukup untuk melanjutkan hidup.

Harapan bisa lahir dari mana saja: merasakan hangatnya berpegangan tangan, memandang matahari terbit atau merah mega senja, menyesap secangkir kopi sampai diusir dengan lagu sayonara, menghirup aroma buku lepas dari segel, memakan cheesecake yang kelewat gosong, menertawakan hal-hal konyol, menelpon teman di WhatsApp hingga 2 pagi; Keintiman dari hal-hal kecil ini yang membuat hidup layak dijalani. Betapa indahnya ketika kita mengetahui bukan melulu tentang perkara muluk-muluk untuk menghargai kehidupan.

Dari hal-hal yang terlihat sepele dan seringkali terabaikan, dari omong kosong yang harus ada; secara tak disangka, akan selalu mengisi hidup kita yang serupa mosaik tak pernah utuh atau mangkuk yang sudah pecah dan tak bakal terisi penuh.

Salam lestari, rahayu andum basuki.

Kab. Tangerang, 12 November 2023
M. Bayu Bajra

--

--

babonjra

Engineer who happens to like reading and sometimes writing, other times having a talk over a cup of coffee or two.