Melihat Hidup dari Mereka yang Sudah Uzur

Selamat datang di ujung dunia

babonjra
7 min readFeb 1, 2023
Makam Binatang Jalang. Dokumentasi pribadi.

𝙉𝙤𝙢-𝙉𝙤𝙢𝙖𝙣 𝙏𝙖𝙚𝙠! / Muda-Mudi Tahi Anjing!

Ada tiga manfaat orang-orang uzur bagi anak muda: meminjamkan uang, melakukan hal-hal konyol lalu dijadikan bahan lelucon, dan memberitahukan penyesalannya selama hidup. George Sauders, dalam pidato Failure of Kindness (2013), menambahkan poin ketiga akan mereka berikan tanpa perlu diminta. Atau bahkan ketika tawaran mereka sudah ditolak sebelum akhirnya tetap bercerita.

Beberapa minggu lagi aku bakal berumur 24. Atau 27, atau 33, atau 49 (usia tidak lagi penting-penting amat untuk dihitung setelah menyentuh angka 21). Sepanjang tahun ini terasa renyah, bergantian kecewa dan tertawa terhadap banyak hal; bergembira, meski sekali-sekali, dan menangis menjalani banyak peristiwa. Tidak ada yang berubah. Contohnya, aku tidak berubah menjadi sosok religius yang akan menyisipkan kutipan ayat kitab suci atau hadis dan mendengarkan hafalan Quran surah Ar-Rahman sembari menyelesaikan tulisan ini.

Apa istilah untuk menyebut orang yang masih muda? Pemuda, tentu saja. Lantas, kenapa kita tidak memanggil orang yang sudah tua dan sering memberi nasihat sebagai petua(h)? Anjing, jokes-ku sudah terdengar seperti bapak-bapak.

Adjektiva tua atau muda dapat dibubuhkan pada usia 24 bergantung dari situasi yang dihadapkan. Muda bila membicarakan seseorang yang terlindas truk di usia tersebut, tua bila membicarakan seseorang yang belum kunjung menikah di umur yang sama atau lebih. Sedangkan adjektiva dewasa menurut orang-orang tidak diukur dari usia, entah pakai satuan apa. Dunia akan jauh lebih sederhana bila kita bisa sepakat untuk mengukur kedewasaan dari jumlah waktu yang telah manusia habiskan di dunia atau sisa waktu yang ia punya.

Driver Ojol yang Mencurigakan

Akhir Oktober 2022 seusai tes antigen di Balikpapan untuk syarat administratif masuk ke salah satu platform offshore PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur, aku melaju ke dermaga Somber Jetty dengan mobil calya berwarna oranye sesuai pesanan aplikasi ojek online / ojol. Satu dari beberapa kemewahan yang tidak aku dapatkan dari ojol di ibukota adalah bisa berbincang dengan driver. “Santai atau terburu-buru, Mas?” Pertanyaan yang template untuk mengawali pembicaraan perjalanan 40 menit tanpa dikejar waktu.

“Ada project di platform Victor, Pak.” Jawabku usai ditanya mau ke platform Attaka, Sepinggan, atau yang lain setelah dari jetty nanti. Ini mulai menarik. Tidak semua orang mengerti nama-nama platform itu, aku putuskan untuk mencari tahu siapa sebenarnya driver aku ini. “Saya salah satu anggota rescue team kalau ada proyek. Biasanya di Attaka.” Anjing, gokil. Tentunya umpatan barusan tidak keluar dari mulut saat itu.

Meskipun bukan HRD yang melakukan wawancara kerja, tapi aku mengetahui kalau beliau berumur 57 tahun. Sudah tujuh kali ikut rescue challenge, dan pernah mendapat project di PT Freeport Indonesia. Cerita-cerita semasa beliau aktif sebagai safety crew membuat adrenalin meningkat: suatu waktu menyelamatkan teknisi yang terjepit dengan body harness di ketinggian 40 mdpl, beberapa bulan setelahnya mengevakuasi teknisi dengan posisi tubuh terkunci, dan lain-lain. Meskipun masa pensiun di perusahaan beliau di umur 55, beliau tidak menjadikannya masalah ketika diperpanjang selama 2 tahun. Beliau resmi pensiun kurang dari sebulan lagi.

Aku tidak perlu bertanya mengapa beliau memutuskan menjadi driver di siang bolong sebelum akhirnya beliau menceritakan keseharian beliau yang kini dihabiskan dalam mobil matic oranye ini. “Karena biasa bekerja, Mas. Sekarang berdiam diri dari pagi sampai sore di rumah tidak betah,” Beliau menjelaskan tanpa perlu aku minta, “dan setelah mencoba, ya, nyaman-nyaman saja. Kalau gengsi, itu malah yang menghambat orang-orang sepantaran saya berkegiatan.”

Beliau lalu menceritakan teman-temannya yang selisih pensiun hitungan tahun lebih awal, kebanyakan dari mereka kebingungan untuk mengisi hari-hari di usia yang tak lagi muda. Beberapa ada yang mengikuti jejak beliau menjadi driver ojol, tapi kebanyakan hanya bertahan dalam hitungan hari karena merasa malu. Siapa yang bisa mengira kalau gengsi masih bisa menjangkit manusia setelah umur setengah abad?

Melihat beliau memilih rute jalan tanpa melihat map sepanjang perjalanan dan mendengarkan cerita-cerita beliau membuatku kagum. Aku menikmati obrolan dengan beliau hingga aku lupa menanyakan nama beliau meskipun telah sampai tujuan. “Wah, ada urusan apa, nih, Pak Bambang?” Tanya security dermaga yang aku curi dengar seusai turun dari mobil.

Aku tidak tahu mendetail rintangan apa yang telah dilalui dan beban apa yang sedang dipikul beliau. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar mengerti penderitaan, seperti Pak Bambang, dan menjalani hidup tanpa gengsi dengan berani. Tapi penghidupan beliau kini menghidupi, setidaknya nyali penumpangnya ini.

Pensiunan yang Gembira dan Menggembirakan

Ada ketenangan yang menjalar ketika aku melihat orang-orang dengan usia senja berkegiatan. Entah melihat langsung atau di status WhatsApp, beberapa beban hidup terangkat ketika melihat mereka melakukan hal-hal yang mereka sukai. Tentu bukan dengan menjadikan mereka sebagai bahan lelucon.

Jangan kira hanya orang muda yang bisa menertawakan orang tua. Ini juga berlaku sebaliknya. Meskipun tidak dengan semua orang tua, salah satu yang pernah dan sering meledekku adalah Ibu Uzi. Ibu dari Fahrina, salah satu kawan baikku di Malang, sekaligus pensiunan guru dari salah satu “SMA Tugu” kota Malang.

Dari ibu-ibu yang aku simpan dalam daftar kontak telepon, Ibu Uzi layak mendapat juara 1 kategori terbanyak melakukan update status WhatsApp. Aku tidak mempermasalahkan itu, toh aku senang melihat beliau begitu bahagia bernyanyi bergembira bersama teman-teman sepantaran. Kadang di studio TV, kadang di kondangan, kadang bersama anak atau cucunya. Lain waktu beliau akan meng-update bermain tennis. Sedikit membuat minder, kurasa ibu yang satu ini lebih bugar dari aku saat SMA.

Diingat-ingat kembali, perkenalanku dengan beliau terjadi dengan cara yang sangat absurd. Melalui panggilan telepon yang kutujukan seusai menekan kontak bernama Fahrina, aku bertanya dengan membentak “Ndek endi koen?!” / “Di mana kamu, heh?!”. Sialnya, tanggal apes tidak ditandai di kalender mana pun. Yang menjawab dari ujung telepon yang lain adalah Ibu Uzi, tepat seusai aku membentak dan melihat Fahrina berlari ke arahku berdiri.

Anjing, kalau mengingatnya lagi, aku ingin mencelupkan kepala dan seluruh tubuh ke dalam pemandian air panas Cangar dan tidak akan kembali demi mengubur diri bersama rasa malu yang tidak kunjung hilang hingga sekarang.

Beberapa kali aku mendengarkan beliau bercerita ketika datang ke rumah Fahrina. Koreksi, rumah Ibu Uzi. Kesamaan tiap orang-orang tua ketika bercerita: selalu menyisipkan nasihat dan amanat. Tidak terasa sebagai masalah untuk beliau bercerita, sampai beliau menanyakan aku merokok atau tidak. Beliau mengetahui aku seorang perokok aktif 3 tahun lebih dahulu dari Bapak & Ibu aku di rumah. Aku hanya membalas dengan senyum tipis dan tertawa ringan, tapi ternyata tidak mempan.

Sejak pertanyaan itu, aku akan diberi kisah bela sungkawa tentang teman sepantaran beliau yang merokok meski sudah dipasang 3 ring jantung dan berakhir meninggal. Lalu dilanjut dengan pertanyaan harga rokok per batang dan menganalogikan menyulut rokok sama seperti membakar 1 lembar 2000 rupiah sebatang. “Uwes, tah, Jra. Mandeg rokok-an e.” / “Sudahlah, Jra. Berhenti merokoknya.” Karena aku tidak ingin jadi Malin Kundang meskipun beliau bukan ibu kandungku, aku menyanggupkan diri untuk membalas dengan gelak tawa saja tanpa memberi perlawanan dan berakhir menjadi bahan ledekan.

Aku baru berani menggerutu tentang cerita dari Ibu Uzi tentang ring jantung atau apalah itu saat sudah di balkon kos. Dengan kopi susu gula aren yang aku beli di kedai kopi medioker searah jalan pulang dan rokok surya yang kuisap dalam-dalam.

Pada kesempatan yang lain beliau akan menceramahi aku sebagai alumni pendaki semasa muda. Yang paling berbekas kiranya, “Jra, Jra. Gunung sudah banyak yang kamu daki dan takluki tapi masalah hati masih cetek ilmunya.”. Seandainya beliau tahu kalau aku punya pengalaman ditolak perempuan yang sama sebanyak tiga kali, mungkin beliau akan tertawa terpingkal-pingkal meskipun aku sudah berbaring di kos.

Fahrina terbahak-bahak tiap kali aku menceritakan ulang kultum-kultum ibunya. Dia bilang kalau itu usaha ibunya untuk bergaul denganku. Tak bisa aku pungkiri bahwa itu usaha yang epik dan akan selalu dikenang, Bu.

Mie Celaket 17 dan Orang di Baliknya

Keluarga dari Aldo, kawan baikku yang juga asal Malang, mempunyai warung makan bernama Mie Celaket 17 yang dikelola oleh ibunya. Aku bukan seorang ahli di sektor kuliner, tapi gelar mi pangsit / cwimie terenak yang pernah aku makan di Malang jatuh kepada racikan beliau. Berlokasi di belakang hotel MaxxOne kota Malang, kusarankan kamu untuk mampir kalau ada kesempatan berkunjung ke kota ini. Malang bukan melulu tentang Batu!

Sempat terpikir kalau Ibu Asri, ibu dari Aldo, berkomplot dengan Ibu Uzi, karena aku sempat diledek beberapa kali ketika update status WhatsApp. Pertama ketika aku bercerita tentang curhat-an aku bersepeda sejauh 17 Km ke kantor, kali kedua ketika jam tangan kayu dari gaji pertamaku patah. Ketika aku menumpang tinggal untuk berlibur di rumah keluarga Aldo selama 5 hari, aku sempat ditanya nama asliku, “Mas, Tante sungkan kalau manggil Babon.”. Aku jawab dengan tawa dan sedikit kikuk menyadari nama yang sudah lama melekat dan mudah diingat.

Baru-baru ini status WhatsApp beliau berisi pengumuman kalau warung sudah buka untuk makan di tempat. Ada dua kesenangan yang aku dapatkan: senang karena sebentar lagi kondang, dan senang karena sudah beli sebelum kondang. Oh ya, beliau menyediakan menu dalam bentuk beku / frozen food yang siap dikirim keluar kota. Menulis ini membuatku ingin memanaskan mi pangsit yang baru saja datang. Vive la Celaket 17!

Melihat Api Bekerja (Bukan Puisi Aan Mansyur)

Pak Bambang, Ibu Uzi, dan Ibu Asri adalah tiga dari segelintir orang-orang uzur yang membuatku kembali mempertanyakan betapa indah dan rumitnya hidup ini. Ternyata, dunia cukup luas untuk menampung orang-orang tua yang gembira dan menggembirakan.

Kamu bisa menemukan orang-orang seperti mereka di YouTube seperti aku yang tidak sengaja menonton sushi master dari kanal Tasty. Video berjudul A Day in the Life of A Sushi Master (2019) bercerita tentang Nozomu Abe, pemilik kedai sushi yang berdedikasi 20 tahun untuk memasak sushi, hanya sushi! Pengalamannya hanya selisih lebih kurang 4 tahun dengan usiaku sebentar lagi. Dengan hospitality dan mastery menyajikan sushi setelah mengasah keterampilan yang sanggup membuat para pelanggan dan juga penonton rekaman digital tidak punya pilihan selain diam terpukau. Dia memasak seperti melakukan pentas seni.

Orang-orang ini terasa lebih hidup daripada semua teman-teman sepantaranku digabungkan. Beberapa tahun lalu aku tidak akan mengira kalau pendengar senandung Dian Piesesha semasa putih abu-abu akan lebih menyala dari pemuda-pemudi yang menyanyikan Rumah ke Rumah milik Hindia saat gundah gulana ditinggal pasangannya saat semester tiga atau lima. Entah sudah berapa kali mereka merelakan hidupnya padam demi menyalakan hidup orang lain, aku yakin mereka tidak perlu mendengar kalimat dari motivator tentang jatuh tujuh kali sebelum akhirnya bangkit delapan kali.

Kegiatan-kegiatan yang kini mereka jalani seakan membawa pesan untuk anak muda: Teruslah bersinar. Redup boleh, mati jangan. Nanti ada waktunya. Tapi anak muda mana yang benar-benar mendengarkan perkataan orang tua? Seperti kata Silampukau di Doa 1, anak muda selalu merasa hidup akan kedaluwarsa jika hanya berisi nasihat mama papa.

Beruntunglah aku di usia nanggung. Disebut muda sudah tak bisa, dibilang tua tidak jauh berbeda dengan foto kartu mahasiswa.

Salam lestari, rahayu andum basuki.

Kab. Tangerang, 1 Februari 2023
M. Bayu Bajra

--

--

babonjra

Engineer who happens to like reading and sometimes writing, other times having a talk over a cup of coffee or two.