Berdikari sejak Hati

Adil membersamai diri dengan nurani

babonjra
4 min readDec 28, 2023
Puncak Gunung Buthak, Circa 2019. Dokumentasi Pribadi.

Kurang dari sepekan kalender 2023 akan usang. Sebagian besar orang meyakini bahwa tahun baru adalah sebuah perayaan, meski aku tidak pernah tahu terhadap apa. Sepanjang tahun ini aku melewati banyak peristiwa dengan bergembira meski kesedihan sering hilir mudik ketika kelopak mata susah kupejamkan, bergantian kecewa dan tertawa pada hidup yang serba berantakan. Sama seperti tahun-tahun yang berkesudahan. Yang membedakan, cakrawala pandangan diri lebih luas untuk bisa lebih awas menilai.

Setahun ini lagi-lagi dipecundangi kehidupan. Entah karier atau asmara, semua terasa kacau, dan perih paling menyakitkan tahun ini ialah perihal kehilangan teman terdekat. Bukan sebab dipisahkan ajal, namun hal ini berasal dari tindakan yang kuambil terhadap penolakan berupa ketidaksediaan menerima hubungan platonik lelaki dengan perempuan — ketidakmampuan untuk terus merawat suatu hal yang berawal dari bibit kasih sayang.

Apakah masalah ini berpangkal dari komunikasi yang sempat hilang? Tidak. Komunikasi boleh jadi hal yang penting, namun yang menjadi fondasi suatu hubungan ialah rasa hormat. Alih-alih menghargai batasan sebagai teman yang ia tetapkan dan menerima penolakan yang diutarakan, aku memilih untuk menghapus semua obrolan di tiap sosial media sebelum memblokir kontak secara sepihak sebagai upaya melupakan segala yang pernah ada. Lucu, bukan, bagaimana patah hati dapat membuat seseorang bersikap tolol?

Aku mendapat pelajaran dengan rasa sesal yang menjalar di dada — bahwa pertemanan kelewat berharga untuk menebus kesepian. Aku menyesal karena telah memutus pertemanan dengan salah satu orang yang pertama menyambutku di perantauan. Setiap memakai bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timur dalam keseharian — yang kupertahankan sebagai upaya merawat kenangan-kenangan di Malang — hanya ada rasa sesak mengisi lubang rindu yang gagah menganga, relung hati yang sama ditinggalkan oleh kehilangan pribadi tempat bercerita riang nelangsa tanpa perlu mencemaskan penyangkalan.

Pertanyaan yang sama selalu muncul memenuhi isi kepala: apakah kesalahan-kesalahan yang tidak sanggup kumaafkan hanya berujung sebagai contoh nyata nasihat kalau nasi sudah menjadi bubur yang diajarkan guru bahasa Indonesia saat sekolah rendah? Aku tidak ingin peristiwa ini terjadi pada sisa pertemanan dengan jumlah yang bisa dihitung dengan jemari tubuh yang masih utuh. Melupakan peristiwa ini hanya akan membuatnya terulang, dan melupakan adalah tindakan yang sia-sia. Ingatan manusia berbeda dengan penyimpanan alat elektronik yang bisa dihapus begitu saja. Manusia bisa memaafkan, namun melupakan bukan suatu hal yang memungkinkan. Yang ada ialah berdamai dengan sesuatu, apapun itu.

Kusadari ketidakmampuanku untuk memaafkan berasal dari pemikiran sinis bahwa tidak ada orang yang sanggup berubah. Bukan waktu yang singkat aku berpikiran bahwa orang-orang ingin berubah, mereka merasa perlu berubah, namun pada kenyataannya mereka tidak berubah. Baru-baru ini aku menyadari bilamana urusan hidup ini sekadar mendepak orang-orang yang berbuat salah, tidak memberi kesempatan untuk menyadari dan mengatasi kekeliruan mereka; itu namanya mengajak hidup rusak-rusakan.

Bersandarkan semua itu, perubahan kupahami berawal dari diri sendiri. Buruk sangka yang kupunya perlahan berganti menjadi rasa percaya. Aku ingin percaya bahwa setiap orang, terkecuali segelintir saja yang mempunyai beberapa baut kendor di kepala, sanggup menyesali kesalahan mereka — dan memperoleh kesempatan kedua. Dasarnya ialah diri bukan sesuatu yang beku. Entah dari cinta, dari bencana, dari kaca-kaca, dari kata-kata, dari yang luar biasa pun sederhana; ada satu yang akhirnya menggugah — bahkan mengubah jalan seseorang terhadap hidupnya.

Penolakan yang tidak sanggup kuterima disebabkan oleh betapa aku bersikeras memberi kritik diri dengan kata seharusnya. Bahwa aku seharusnya merasakan sesuatu, bahwa aku seharusnya melakukan sesuatu. Aku memahami bagaimana aku hanya bisa berfungsi ketika tiap peristiwa, tindakan, dan perasaan mempunyai cara yang “benar” atau "normal" agar ia bisa terjadi. Dengan begitu, akan lebih mudah bagiku untuk menyalahkan diri saat sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya — karena aku tidak melakukan hal yang seharusnya.

Padahal, tidak semua hal bisa dipaksakan untuk memiliki seharusnya. Beberapa peristiwa tidak mempunyai benar atau salah, baik atau buruk. Beberapa hal sekadar ada. Kecenderungan untuk memaksa segala hal harus sesuai dengan isi kepala ini menjadi pembatas diri untuk bisa berekspresi dengan segala perasaan yang ada.

Keinginan untuk berubah kuawali dengan mengizinkan diri merasa baik-baik saja menerima perasaan yang silih berganti datang menghampiri. Melepaskan segala belenggu yang ada dengan mengeluarkan gelak tawa saat gembira, menangis ketika gundah gulana menyesakkan kepala. Aku membiarkan semua hal terjadi tanpa kupikirkan, cukup kurasakan. Dan entah mengapa, perubahan itu terjadi begitu saja. Suatu hal dalam diri mulai terasa nyaman, segala sesuatu mengalir ke tempat mereka semestinya mengalir. Setiap hal serupa roda-roda gerigi yang selaras menggerakkan jagat raya.

Aku mulai menyambut rasa damai yang datang sebagaimana aku menerima sesal yang kurasakan ialah bentuk duka cita terhadap garis waktu yang tidak sempat ada — momen berkabung atas masa depan yang tidak punya jalan pulang dan masa lalu yang tidak akan datang. Aku menerima kebahagiaan mendekap hingga sesak terasa dalam wujud yang sama ketika aku membiarkan kesedihan merangkul dengan penuh belas kasih, sebagaimana aku membiarkan deras tangis mengalir pada amarah yang membakar dada hingga sisa rangka. Aku berada di kondisi paling baik. Paling sadar.

Aku menerima kebahagiaan bukan suatu maksud dan tujuan akhir dalam hidup. Bahagia sama halnya seperti sedih, gembira, kecewa, marah, riang atau nelangsa; bukanlah kondisi permanen. Berdamai berarti membolehkan diri menyambut hangat berbagai perasaan yang datang mendekat. Bukankah hanya dengan begitu diri bisa menikmati momen-momen saat menjalani hidup ini? Hidup yang berdikari sejak hati, adil membersamai diri dengan nurani.

Kota Cilegon, 28 Desember 2023
M. Bayu Bajra

--

--

babonjra

Engineer who happens to like reading and sometimes writing, other times having a talk over a cup of coffee or two.