Bagaimana Kamu Melihat Dirimu dalam 5 Tahun ke Depan?

Ini bukan tips & trick wawancara kerja

babonjra
4 min readOct 31, 2023
Kopi pagi di Serona Coffee, Bintaro. Dokumentasi pribadi.

Pertanyaan template yang pasti kau dengar dari HRD tempatmu melamar pekerjaan. Sekali-sekali, aku ingin menjawab sembari mengutip Dostoevsky: Baiklah, biar aku katakan padamu, aku sangsikan kemasyhuranku akan lebih tinggi dari yang kucapai sekarang ini. Jelas itu tidak sempat keluar dari mulutku, orang waras mana yang akan menjawab seperti itu ketika membutuhkan pekerjaan? Tapi, biarlah tulisan ini menjelaskan hal-hal yang melintasi pikiranku saat dihadapkan pertanyaan itu.

5 tahun dari sekarang berarti Indonesia sudah berganti presiden. Siapapun nanti yang terpilih, kurasa sama saja. Aku tahu kamu sudah jenuh atau bahkan kesal dengan topik ini, tapi tolong tahan sebentar karena aku tidak akan menaikkan citra paslon mana pun. Aku tidak berpihak ke sisi mana pun, paslon yang tersedia kurasa lucu semua. Konklusi yang kau dapat dari premis barusan, kalau aku golput atau apapun itu; kuserahkan pada imajinasimu.

Pada suatu waktu aku melihat story instagram salah satu teman dengan caption: "Salah satu tanda kedewasaan adalah mulai memikirkan dan berdiskusi calon presiden yang akan memajukan Indonesia". Konyol sekali. Ada juga beberapa teman sebayaku yang bilang kalau pilpres kali ini seru. Bagiku ini sama saja seperti yang sudah berlalu.

Barangkali terasa seru karena berpikir suara yang disumbangkan bakal ikut andil menyejahterakan bangsa ini. Coba kau pikir lagi ketika mereka, paslon-paslon itu, bilang ini pertaruhan hidup dan mati. Tentu ini soal hidup dan mati, tapi untuk siapa? Bagi mereka, tentu ini perihal hidup dan mati. Belum tentu sama untuk kita. Berapa besar kemungkinan itu berlaku juga buat hidup kita? Tidak ada jaminan pergantian presiden bakal membuat hidupmu lebih aman tentram sehat sentosa gemah ripah loh jinawi, kok.

Aku menangkap seru yang mereka ucapkan diikuti dengan sebuah harapan bahwasanya negara ini akan menjadi utopia dengan pemimpin pilihan mereka. Betapa optimisnya mengangankan negeri ini akan menjadi tempat yang ideal dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Utopia, bagiku, tidak lebih dari dunia yang terdapat jin dalam lampu ajaib yang keluar ketika kau elus wadah itu sebanyak tiga kali dan akan datang mengabulkan tiga keinginanmu. Sayangnya, kau akan ditampar tiap menyebutkan keinginanmu dan akan diomeli balik: “Realistis sedikit, dong!”.

Tempat ideal bisa berupa apa saja: sorga, negara teokratik, konser Banda Neira dengan Ananda Badudu & Rara Sekar, warteg bahari yang tidak mempermasalahkan bon, semesta yang berupa donat krispy kreme; apa pun itu, asalkan lebih baik dari yang kita tempati sekarang ini. Sayangnya yang ada hanyalah dunia ini, yang terus bergulir tanpa ada bukti konkret bahwa ia bertujuan, dan terus bergulir, dan terus bergulir. Pembicaraan wujud utopia tidak akan terlihat ujungnya.

Enggak, aku enggak membenci, atau bahkan memusuhi, narasi-narasi itu, kok. Aku senang membahasnya dengan siapapun yang menghendaki, tapi ada baiknya tidak diambil hati. Kau tahu, pembicaraan ini hanya akan memutus pertemanan bila dilanjut dengan gontok-gontokan. Kurasa kita sudah sama-sama dewasa, atau setidaknya bijaksana, untuk mengerti kalau hubungan pertemanan, kerabat, dan keluarga terlalu berharga untuk ditukarkan dengan hal ini.

Jangan terlalu memikirkan pemilihan ini. Memihak sisi mana pun, silahkan. Enggak memihak, ya, silahkan. Memakai hak pilih, silahkan. Mau golput, ya, silahkan. Rileks saja menghadapi hal ini. Enggak perlu sampai bermusuhan.

Siapapun yang terpilih, semua hal tidak akan jauh berbeda. Hidupku akan begini-begini saja. Menghabiskan tumpukan buku-buku yang tiada habis, terkadang menulis, merawat Cortazar, menyeruput kopi dengan mengisap rokok sesekali, memaki kendaraan dengan knalpot racing (itu bising dan tidak membuatmu terlihat lebih jantan, tolol!), menunggu update mingguan webtoon dan manga yang kuikuti, mengutuk kebijakan-kebijakan busuk, membercandai kehidupan serta kematian, dan mencintai Jogja dengan keras kepala.

Kurasa sudah cukup perihal pilpres ini. Baiklah, kembali lagi ke pertanyaan awal. Tidak perlu jauh-jauh sampai 5 tahun, deh. 3 tahun lagi berarti ucapan "Dulu, 20 tahun lalu..." berarti masa di mana aku dan sebayaku, orang-orang penutup tahun 90an, perdana memakai seragam sekolah berwarna putih-merah. Bukan maksudku mengingatkan bahwa kita sudah tua, aku tahu kita sama-sama tahu soal itu, tapi seringkali aku masih berpikir 20 tahun lalu berarti masa ketika Soeharto masih menjabat.

Tidak perlu juga, sih, menarik ke 3 tahun ke depan untuk merasa tua. Tahun depan, 2024, menandakan kalau genap sudah satu dekade sejak aku memakai seragam putih-abu-abu pertama kali. Era di mana kebanyakan orang meromantisasi kenangan-kenangan secara berlebihan. Masa remaja di tengah fase pemberontakan terhadap orang tuanya, kalang kabut dengan cinta pertama — kalau bukan yang pertama kita setujui saja itu cinta monyetnya, mencari perhatian dengan sengaja ke polisi di jalan yang mengadakan razia setelah mendapatkan SIM yang didapat dengan membolos jam pelajaran, dan merasa kedua tangan sanggup menggenggam serta membalikkan dunia. Aih, manis bukan mengenang momen-momen itu?

Beberapa tahun ke depan aku akan terus kebingungan dengan tren-tren kekinian, merasa ingin muntah tiap melihat hal tak terbayangkan yang dilakukan bocah pasca pubertas ketika kasmaran, menghirup polusi yang semakin menjadi sebagai konsumsi sehari-hari, menertawai politisi-politisi busuk (maafkan kalimatku tidak efektif, nomina politisi sudah sepaket dengan adjektiva busuk), menahan diri untuk tidak emosi saat berdesakkan di transportasi umum, terpingkal ketika mengenang masa lalu bersama teman, mendengarkan lagu-lagu Silampukau yang tak kunjung merilis album kedua, dan apalagi?

Oh, ya, mencintai. Mencintai diri sendiri, teman, keluarga, dan hidup ini. Cinta buat pasangan menyusul, karena sekarang belum ada, lur.

Salam lestari, rahayu andum basuki.

Kab. Tangerang, 31 Oktober 2023
M. Bayu Bajra

--

--

babonjra

Engineer who happens to like reading and sometimes writing, other times having a talk over a cup of coffee or two.